- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
SEJARAH FILSAFAT
Victor Th Furima. STh
Filsafat Yunani bertumbuh atas
dasar pemikiran mitis dan arkais menuju ke suatu refleksi sistematis mengenai
susunan dalam (logos) segala sesuatu yang terjadi. Perkembangan ini kita
saksikan pada abad ke-6 dan ke-5 sebelum masehi di daerah Ionia dan Yunani Raya
(Sisilia dan Italia Selatan). Ditengah-tengah masyarakat Negara kota (polis)
filsuf-filsuf seperti Thales, Anaximandros dan Heraklitos berpikir_pikr tentang daya ilahi
di dalam alam raya.dalam refleksi Demokratis sampai pada suatu bentuk
materialisme. Dalam hasil pikiran kaum sofis tercerminlah kemerosotan
masyarakat polis yang menisbikan segala norma: Sokrates melawan
arus ini dengan menjadikan refleksi diri sebagai pribadi sebagai titik pangkal
untuk mencapai suatu pengertian terhadap norma-norma abadi.
Murid Sokrates yang
terkenal ialah Plato,427-347; dalam teorinya tentang idea-idea
ia melukiskan antara kenyataan rohani yang tak dapat musnah dan kehidupan di
dunia ini yang dialami secara indrawi; teori ini berkaitan dengan pandangannya
mengenai terpisahnya jiwa manusia yang tak dapat mati dan badan yang akan
musnah idea-idea itu mewujudkan adanya yang paling tinggi dan paling nyata,
tetapi terarah juga dengan nilai kebaikan yang terdapat di sebelah sana segala
sesuatu yang ada. Nilai ini mendorng dirinya untuk menerjunkan diri ke dalam
kehidupan sehari-hari dan dengan demikian ia ingin membina watak manusia
ditengah-tengah masyarakat polis itu. Aristoteles, 384-322, Plato dan
guru Iskandar Agung, menempuh jalannya sendiri. Ia terutama memperhatikan data
kongkret. Kesatuan antara forma dan materia di dalam dunia indrawi ini, yaitu
substansi; Aristoteles menggali hakekat barang-barang di dunia ini dengan
membuat suatu logika formal. Material semata-mata tidak ada, pengertian
tersebut hanya merupakan konsep saja; kenyataan mempunyai wujud dan di dalam alam
hidup, jiwa merupakan wujud terhadap badan.
Masyarakat Hellenis (sesudah
Iskandar) sikap hidup terutama diperhatikan. Epikurus, 341-271,
memusatkan perhatiannya kepada hidup yang dinikmati secara indrawi, berlawanan
dengan mazhab Stoa bahwa sikap hidup manusia terlepas dari dunia ini. Beberapa
tokoh Stoa Zeno, 336-264 dan Chrisipos, 280-206, mengajarkan
bahwa hokum dunia sendiri (logos) bersifat moral. Chrisipos sudah merintis
suatu logika proposisi, alam pikiran Yunani diakhiri oleh mazhab neo-platonisme
yang berawal pada Plotinus 203-269: di atas ada tertinggi seperti di ungkapkan
dalam idea-idea, terdapat yang tak terungkapkan, Yang Esa.
Augustinus lahir di Afrika Utara 354-430, seorang filsuf Kristen yang menekankan
cinta kasih sebagai daya pendorong bagi pemikiran; ini antara lain juga
mempengaruhi sikap terhadap sesame manusia. Pada abad pertengahan Bonaventura,
1221-1274,meneruskan pandangan Augustinus; ia melukiskan dunia ini
sebagai perwujudan cahaya yang menjalin komunikasi antara Tuhan dan akal budi
manusia (67-68). Thomas Aquino, 1225-1274 , meneruskan jalur
pikiran Aristoteles. Dengan daya pikirannya sendiri manusia dapat mencapai
kebenaran, tetapi sinar wahyu Tuhan itu perlu untuk mengetahui
kebanaran-kebenaran yang mengatasi kekuatan kedratnya. Tuhan adalah ada
tertinggi, tetapi ini tidak berarti bahwa dengan mengerti hakekatnya sesuatu,
eksistensinya juga jelas: eksistensi itu bersifat kontingen, tidak niscaya.
Sifat kontingen ini di kemudian hari disoroti dengan tajam oleh Duns Scotus, 1266-1308, dengan demikian
hal-hal yang kongkret dijadikan pusat perhatian.
Sebagian filsafat Barat pada abad
Pertengahan dipengaruhi oleh Filsafat Islam yang berakar dalam Filsafat Yunani.
Al-Farabi, sekitar tahun 900,
membuat shintesa antara platonisme dan aristotelisme, sedangkan Ibn Sina
980-1037, dan Ibn Rushd (Averroes), 1126-1198, mengembangkan suatu system
yang lebih bersifat rasionalistis; sama dengan Filsafat Kristen merekapun
menekankan bahwa eksistensi makhluk-makhluk bersifat kontingen, tidak niscaya.
Pada awal abad ini Filsafat Islam dipengaruhi oleh Mohammed
Iqbal, 1876-1938.
Sesudah tahun 1500 timbulnya
system-sistem filsafat besar. Descrates, 1595-1650, yang
bertitik pangkal pada bahwa aku berpikir (cogito, ergo sum), seluruh
kenyataan terdiri atas substansi-substansi berpikir dan substansi-substansi
luasa. Jiwa dan badan merupakan dua substansi terpisah biarpun di dalam diri
manusia keduanya sangat erat hubungannya. Badan dilukiskannya sebagai sebuah
mekanisme yang sangat rumit, sehingga kemudian hari ahli-ahli pikir materialis
seperti J.O. de la Mettrie, 1709-1751 menafsirkan manusia
seluruhnya sebagai sebuah mekanisme. Berlawanan dengan metoda Descrates yang
rasional, Blaise Pascal, 1623-1662, yang lebih berhaluan
eksistensial, menjunjung tinggi pengetahuan hati. Dalam system Benedictus de Spinoza, 1632-1677,
rasionalisme dan mistik bersatu padu: lewat intuisi manusia melihat zat
ketuhanan sebagai satu-satunya substansi yang terpancar dalam segala sesuatu
dan ia menjadi sadar, bahwa pengetahuan itu merupakan bagian dari cinta kasih
ilahi. Aspek rasionalistis sangat menonjol dalam karya Leibniz,
1646-1716; roh (berpikir) dan materi (keluasaan) bersatu karena materi
merupakan cara penampakan indrawi dan ruwet mengenai kenyataan rohani yang
bersifat dinamis (monade). Pengetahuan indrawi merupakan satu bentuk keruh dari
pengetahuan akal budi.
Ahli pikir Inggris lebih bersifat
nominalis dan empiris. Jhon Locke,1632-1704, berpendapat, bahwa
semua pengetahuan berakar dalam pengetahuan indrawi; konsep substansi hanya
merupakan sebuah etiket yang secara rasional diberikan kepada sesuatu yang
tidak kita ketahui. Dalam hal ini ia bertolak belakang dengan Leibniz dan di
daratan Eropa hanya E. de Condillac, 1715-1780, memperlihatkan
titik persamaan dengan Locke (sensualisme). Lewat faham empirisme George
Berkeley, 1685-1753, sampai pada faham immaterialisme: kenyataan hanya
dapat kita tangkap dalam konsep-konsep lewat pencerapan roh. Itulah sebabnya
mengapa materi itu ada kadar rohaninya dan merupakan sebuah tulisan sandi yang
menunjukkan kepada penulisnya, yaitu Tuhan. Sebaliknya David Hume, 1711-1776, sampai pada
kesimpulan-kesimpulan skeptis. Dalam faham positivisnya ia menyangsikan segala
pengetahuan akal budi, diantaranya: kausalitas.
Immanuel Kant,
1724-1804, sebaliknya berpendapat, bahwa kita dapat tahu dengan pasti, biarpun
tidak bredasarkan data dari pancaindra, melainkan daya cara pengetahuan kita
mengatur bahannya dalam bentuk-bentuk pencerapan dan kategori-kategori akal
yang semuanya diatur ole hide-ide budi. Tetapi kesadrannya akan hokum moral,
manusia manusia menjangkau jauh diluar kemampuan akal budi, ia meraih dunia
noumenal. Ia sadar pula akan keindahan dan tepat gunanya alam raya,
sehingga dalam dunia indrawi ini ia dapat menemukan tanda-tanda mengenai suatu
kenyataan yang lebih tinggi, biarpun ini tak pernah dapat dibuktikan secara
ilmiah.
Faham Idealisme mutlak yang
didukung oleh J.G. Fichte, 1762-1814, dan G.W.F. Hegel,
1770-1831,kenyataan yang lebih tinggi itu dapat kita raih secara langsung,
yaitu lewat dialektika budi: kesadaran manusia tentang dirinya merupakan suatu
moment dalam kesadaran Dunia, yaitu Budi. Tetapi F.W.J Schelling,
1775-1854, berpendapat bahwa eksistensi tidak dapat diraih oleh akal budi, jadi
bersifat kontingen ; dengan pendapat ini ia mempengaruhi faham vitalisme di
kemudian hari dan juga filsafat eksistensi. Eksistensi manusia merupakan pusat
perhatian bagi A. Schopenhauer, 1788-1860; yang menjadi hakekat
eksistensi itu ialah kemauan yang tidak berakal. Sebaliknya E. Nietzsche,
1844-1900, melihat hakekat eksistensi ini justru dalam kegairahan menerima
hidup ini dengan mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. L.Feurbach,
1804-1872, melukiskan eksistensi manusia secara jasmani sebagi suatu hubungan
antara aku dan engkau . Karl Marx, 1818-1883, mengolah pandangan materialistis
itu secara dialektis; di dalam dialektika social terjadilah kesadaran yang mau
berbuat sesuatu ; alat dan produksi disadari sebagai suatu yang mengasingkan
manusia dari dirinya sendiri, kemudian dalam kesadaran efektif pengasingan itu
dilenyapkan dalam perjuangan mendirikan Negara keselamatan. Materialisme
dialektis inin dikembangkan lebih lanjut oleh F. Engles,
1820-1895, dan W.E. Lenin, 1870-1924.
Vitalisme dipengaruhi oleh filsaft
Romantik (Schelling, Carus) dan dalam beberapa hal juga oleh Schopenhauer dan
Nietzsche.faham ini ada macam-macam cabang. Neo-vitalisme H.Driesch,
1867-1941, tertuju kepada alam alam hidup dan arahnya. Sedangkan filsafat
kehidupan H. Bergson, 1859-1941, lebih bersifat spiritualistis;
gairah kehidupan mencapai puncaknya lewat evolusi dalam diri manusia dan
masyarakatnya yang bersifat religius-moral; di belakang patokan-patokan akal
budi kehidupan itu dapat diraih oleh intuisi.arah pikiran ini diterskan oleh
ahli purbakala P. Teilhard de Chardin, 1885-1955, dan
berdekatan dengan metafisika dinamis A.N. Whitehead, 1861-1947,
yang lebih bersifat platonistis. Filsafat kehidupan yang menekankan pengalaman
batin diutarakan oleh W. Dhilthey, 1833-1911, dan J.Ortegay
Gasset, 1883-1955.
Yang dekat dengan filsafat tersebut
ialah filsafat eksistensi dan berpangkal pada S.Kierkegaard,
1813-1855, yang menjadi dasar pandangannya ialah eksistensi manusia yang
kongkret yang berhadapan dengan Tuhan. Satu abad kemudian banyak ahli pikir
lainnya ternyata terpengaruh oleh Kierkegaard; K. Jaspers,
1883-1969, yang melihat bagaimana kita menjadi sadar mengetahui eksistensi kita
dalam komunikasi dengan orang lain dan di dalam rangkulan Dia yang meliputi
segala-galanya. M. Heidegger, 1889-1976, berpendapat bahwa
eksistensi pribadi manusia menampakan yang ada, tidak sebagai sesuatu “di
belakang barang-barang” , melainkan di dalam dimensi waktu. Bagi J.P.
Sartre, lahir tahun1905, konfrontasi dengan sesame manusia menjadi
pusat perhatiannya. Hubungan dengan sesama manusia sebagai hubungan antara
aku-engkau, baik oleh G. Marcel, 1889-1976, maupun oleh M.
Buber, 1878-1965, dianggap sebagai nada dasar positif bagi eksistensi
manusia.
Cirri khas bagi filsafat Amerika,
yaitu faham Pragmatisme, berpangkal pada kesadaran hidup yang praktis dan lugas.
C.S. Peirce,1839-1916, W. James, 1842-1910, dan J.
Dewey, 1859-1952. Selain itu di dunia Anglosaxon berkembanglah faham
positivisme logi dan filsafat analistis. Perintis-perintis faham positivisme
ini terdapat di tanah Prancis, A. Comte, 1797-1858, dan
Austria, E. Mach, 1838-1916, lingkaran wina dengan seorang eksponen seperti
misalnya R. Carnap, 1891-1970, meneruskan tradisi ini. L.
Wittgenstein, 1889-1951, juga terpengaruh oleh kelompok ini; ia
membatasi filsafat manjadi suatu sistem tanda-tanda bahasa yang logis dan yang
mudah dapat ditangani.masalah-masalah metafisika dianggapnya termasuk bidang
yang tak terungkapkan. Sesudah perang dunia II analisa bahasa seperti dirintis
oleh. Wittgenstein berpengaruh besar di Inggris antara lain terhadap G.
Ryle, 1900-1976. Sebelumnya A.J. Eyer, 1910, pun sudah
mempergunakan penelitian bahasa dan sistem verifikasi yang ketat untuk
menyingkirkan problema metafisika . ahli pikr lainnya, seperti J.L
Austin, 1911-1960, dan P.F.Strawson, lahir tahun
1919, memberikan sumbangannya untuk filsafat analistis itu. Cara
pendekatan terhadap masalah-masalah filsafat ini juga dipergunakan oleh G.E.Moore,
1873-1958, dan B. Russell, 1872-1970; masing-masing bertitik
pangkal pada suatu pendirian filsafat yang khas, tetapi mempergunakan analisa
dan logika bahasa untuk mendekati masalah-masalah etis dan filsafati,. Agak
dekat pada aliran tersebut ialah K. Popper, lahir tahun 1902,
yang ingin mencapai suatu pengetahuan obyektif 100% dan dalam hubungan ini
mempergunakan istilah “roh obyektif”.
Aliran fenomenologi juga ingin
menganalisa gejala-gejala yang secara positif terpapar. Dalam aliran ini ada
beberapa titik persamaan dengan neo-positivisme, tetapi lebih banyak dengan
filsafat eksistensi seperti M. Scheler, 1874-1928, yang ingin
menganalisa nilai-nilai obyektif dengan bertitik tolak pada pengetahuan yang
diliputi cinta kasih. N. Hartman, 1882-1950, berusaha menyusun
suatu ontologi menurut taraf-taraf kenyataan (Schichten). Edmun Husserl,
1959-1938, menempuh jalannya sendiri ia menempatkan kenyataan diantara tanda
kurung dan ingin menganalisa hakekat barang itu seperti nampaknya; demikian ia
sampai pada kesimpulan, bahwa barang-barang kongkret menunjukkan lebih lanjut
menurut lingkaran-lingkaran kebertautan yang makin luas. Banyak ahli pikir
lainnya dipengaruhi oleh Husserl: M.Merleau-ponty,
1908-1961. E. Levinas, lahir tahun 1905, menganalisa “wajah manusia” yang
tertera oleh penderitaan dan mencari apa yang terdapat di sebelah sana dunia
esensi-esensi, sedangkan P. Recoeur, lahir tahun 1913,
menganalisa symbol-simbol purba.
Aliran neo-marxisme dengan E.
Bluch,R. Garaudy, J.Habermas dan H.Marcuse, misalnya merekapun mencari
wajah manusia dan ingin menyelamatkan manusia dari bahaya pengasingan seperti
dilakukan oleh alat-alat seprti partai masyarakat konsumen modern. Kemudian
ahli pikir yang mewakili faham strukturalisme (N. Chomsky dalam
ilmu bahasa, Cl.Levi-Strauss dalam ilmu antropologi budaya dan M.
Foucault dalam sejarah kebudayaan). Biarpun dalam banyak hal mereka
mempunyai pandangan sendiri, namun ada satu titik persamaan, yakni mereka ingin
melepaskan corak filsafat yang terlalu antroposentris; sebagai pengganti mereka
menekankan bahwa sebagai kunci penafsiran hendaklah dicari struktur-struktur
obyektif yang sering tersembunyi sebgai suatu lapisan bawah dalam aneka macam
lingkungan kebudayaan.
http://aaghony.wordpress.com/2012/05/02/sejarah-perkembangan-filsafat/
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar