Agama Sebagai Agen Perdamaian. Prespektif Kritis Terhadap Pelayanan Gereja-Gereja Protestan. Pdt. Victor Th Furima. STh, M.Si.


Prespektif Kritis Terhadap Pelayanan Gereja-Gereja Protestan. 

Pdt. Victor Th Furima. STh, M.Si.

I. Dasar Teologis 

1. Perdamaian dalam Kekristenan Protestan
Pandangan Injil, Yesus mengajarkan nilai-nilai perdamaian secara eksplisit, misalnya dalam Khotbah di Bukit: "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." (Matius 5:9)

2. Yesus Kristus sebagai Pribadi Damai
Yesus digambarkan sebagai "Raja Damai" (Yesaya 9:5) dan melalui pengorbanan-Nya, Ia mendamaikan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya (Efesus 2:14–17). Dalam perspektif Protestan, ini menjadi dasar spiritual bahwa setiap pengikut Kristus dipanggil untuk menjadi pembawa damai (peacemaker) di tengah dunia yang penuh konflik.

II. Beberapa Contoh Dasar Pergerakan Yang di buat oleh agama Kristen berkaitan perdamaian. 

Agama Kristen mendorong perdamaian lewat dialog antaragama dan kerja sama antar gereja, seperti yang dijalankan oleh World Council of Churches (WCC). Salah satu instrumen pentingnya adalah Komisi Faith and Order, yang berfokus pada kesatuan gereja dan pemahaman teologis lintas denominasi. Sidang-sidang penting WCC—I.Amsterdam 1948, III. New Delhi 1961, Vancouver 1983 (dengan dokumen penting BEM), hingga Karlsruhe 2022—menjadi wadah dialog gereja-gereja dunia. Selain itu, Gereja Lutheran Dunia aktif di wilayah konflik, dan tokoh seperti Martin Luther King Jr. memperjuangkan keadilan secara non-kekerasan. Di Indonesia, PGI menyusun Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) dalam DKG 2014–2019 sebagai pedoman bersama gereja.Namun, meski telah ada komitmen bersama, perdamaian di antara gereja-gereja masih sulit terwujud karena perbedaan doktrin, kepentingan, dan ego sektarian. Dan (Kristen Protestan terjebak dalam implementasi Saling Mengakui dan Menerima). 

Opini Penulis

Dalam konteks perdamaian, gereja—termasuk gereja dalam tradisi Kristen Protestan—perlu memiliki sejumlah sikap dan kesadaran kritis agar benar-benar dapat berfungsi sebagai agen perdamaian yang relevan dan transformatif. Berikut adalah beberapa hal kritis yang perlu dimiliki:

1. Kesadaran Akan Sejarah Gereja yang Ambigu

Gereja perlu secara jujur dan terbuka mengakui bahwa dalam sejarahnya, ia tidak selalu menjadi pembawa damai. Perang Salib, kolonialisme yang dibungkus dengan misi, atau dukungan terhadap sistem apartheid adalah contoh nyata bagaimana agama, termasuk kekristenan, bisa disalahgunakan.
Kritisnya: Gereja harus melakukan refleksi historis dan teologis secara terus-menerus, serta berani mengakui dan bertobat atas keterlibatan dalam kekerasan atau ketidakadilan.

2. Kepekaan Sosial dan Kontekstual

Perdamaian bukan hanya tentang tidak adanya perang, tetapi tentang keadilan sosial, kesejahteraan, dan pengakuan martabat manusia. Gereja perlu peka terhadap struktur-struktur ketidakadilan di sekitarnya: kemiskinan, rasisme, ketimpangan ekonomi, atau kekerasan berbasis gender.
Kritisnya: Gereja harus bertanya: Apakah kami berpihak pada yang tertindas? Apakah kami cukup vokal melawan ketidakadilan? (Bagaimana semua ini bisa di laksanakan kalau gereja yang lain mau melayani anak-anak asli papua yang terlantar, lem, putus sekolah, tukan pencuri, tukan mabuk, tukan bacok, tapi terbatas dengan identitas lahiria dan religi mereka). 

3. Kritik Terhadap Nasionalisme dan Ideologi Kekuasaan
Dalam banyak kasus, gereja terlalu dekat dengan kekuasaan politik atau negara, bahkan melegitimasi kekerasan atas nama stabilitas atau nasionalisme.
Kritisnya: Gereja harus mampu menjaga jarak kritis dari kekuasaan, serta berani menegur negara jika kebijakannya bertentangan dengan nilai-nilai Injil.

4. Evaluasi Terhadap Eksklusivisme Teologis
Sikap teologis yang terlalu eksklusif dan menganggap agama lain sebagai ancaman bisa menumbuhkan intoleransi. Dalam konteks masyarakat plural, sikap seperti ini justru menjadi batu sandungan bagi perdamaian.
Kritisnya: Gereja perlu merefleksikan pendekatan teologinya terhadap agama lain—dapatkah kita membangun dialog tanpa mengorbankan iman kita?

5. Kesiapan untuk Mendengarkan dan Belajar dari yang Lain
Gereja tidak selalu harus menjadi "pemberi solusi", tetapi juga harus menjadi pendengar yang rendah hati. Dalam upaya membangun perdamaian, gereja perlu belajar dari pengalaman komunitas lain, terutama korban konflik.
Kritisnya: Apakah gereja cukup memberi ruang bagi suara-suara dari pinggiran dan kelompok minoritas?

6. Konsistensi antara Ajaran dan Tindakan
Tantangan besar gereja adalah menjadi teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam khotbah atau liturgi.
Kritisnya: Apakah komunitas gereja menjadi tempat yang aman, inklusif, dan adil bagi semua—termasuk mereka yang berbeda orientasi, suku, atau status sosial?

7. Teologi Perdamaian yang Kontekstual dan Relevan
Gereja perlu membangun refleksi teologis yang membumi, tidak hanya berdasarkan doktrin lama, tetapi juga menanggapi realitas kontemporer: konflik digital, perang identitas, ekokrisis, dan kekerasan struktural.
Kritisnya: Apakah teologi yang dikembangkan gereja masih relevan untuk generasi muda dan masyarakat global saat ini?

8.Dalam perspektif Kristen Protestan dan semangat oikumenis, perdamaian bukan hanya tentang hubungan antarmanusia, tetapi juga menyangkut relasi manusia dengan alam ciptaan. Allah menciptakan dunia dengan baik dan harmonis (Kejadian 1:31), dan manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara ciptaan-Nya (Kejadian 2:15). Namun, ketika manusia bertindak serakah dan merusak lingkungan—seperti menebang hutan sembarangan, mencemari air, dan merampas tanah—maka ciptaan menjadi rusak dan muncul bencana serta konflik sosial. Firman Tuhan berkata, "Bumi tercemar oleh penduduknya, karena mereka melanggar hukum" (Yesaya 24:5). Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan alam juga merupakan akibat dosa. Karena itu, gereja dan umat dipanggil menjadi penatalayan yang setia, menjaga alam demi keadilan dan perdamaian. Rasul Paulus pun menulis bahwa "ciptaan sama-sama mengeluh dan merasa sakit bersalin" menantikan pemulihan (Roma 8:22). Maka, menjaga lingkungan hidup adalah bagian dari tugas iman dan wujud nyata membawa damai bagi seluruh ciptaan.

Penutup

Gereja dipanggil bukan hanya untuk menjadi pewarta damai, tetapi pelaku dan teladan perdamaian. Namun, untuk dapat menjalankan peran itu secara otentik, gereja harus terus mengembangkan sikap kritis terhadap dirinya sendiri, membuka diri terhadap koreksi dan pertobatan, serta membangun solidaritas lintas batas dengan semua yang memperjuangkan dunia yang lebih adil dan damai.


Komentar