SIAPA SIH PENDETA VICTOR TH FURIMA (OUTOBIOGRAFI)

Konsep Teologi Pembebasan Menurut GustavoGutierrez Dan Implikasinya Bagi Masyarakat Mbaham-Matta”



Konsep Teologi Pembebasan Menurut Gustavo Gutierrez Dan Implikasinya Bagi Masyarakat Mbaham-Matta
 
Berbicara mengenai Teologi Pembebasan maka yang terbesit dalam pikiran kita adalah tokoh centrumnya yaitu Gustavo Gutierrez seorang

pastor dari Peru yang telah menerbitkan sebuah buku Teologia de la Liberacion pada tahun 1971. Gustavo Gutierrez lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, ibu kota Peru. Ia berasal dari keluarga sederhana yang berdarah Mestizo, keturunan campuran Hispanic (Spanyol) dan Indian. Dalam keluarga yang memiliki tiga orang anak itu, Gutierrez adalah satu-satunya anak laki-laki. Meskipun ada kesulitan-kesulitan ekonomi, ia tidak mengalami kekurangan cinta dari keluarganya. Bahkan dalam sebuah wawancara, Gutierrez berkata bahwa ia menerima begitu besar kasih sayang dari orang tua dan keluarganya.[1]

                        Sebelum membahas model serta konsep teologi pembebasan Amerika Latin alangkah baiknya kita menelisik latar belakang dan konteks Amerika Latin terlebih dahulu. Sejak Colombus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolombia, pada abad ke-15, sejarah kolonialisme mulai terpahat di benua Amerika Latin. Negara-negara barat (Eropa) terutama Spanyol berdatangan ke benua ini dan menjajah rakyat Amerika Latin. Mereka menguasai daerah di benua ini yang membentang dari Meksiko di utara sampai Argentina di selatan, dari Brasilia di timur sampai Meksiko di barat. Kekayaan alam yang terdapat di wilayah-wilayah ini – terutama emas – dieksploitasi dan dijarah oleh Spanyol. Orang-orang Amerindian[2] tidak hanya kehilangan tanah dan kekayaan alam tetapi juga martabat pribadi sebagai manusia yang bebas. Mereka dijadikan tenaga kerja paksa dan murah, diperlakukan sebagai budak dan dibunuh secara kejam kalau melakukan perlawanan. Maka realitas Amerika Latin dewasa ini tidak muncul dengan tiba-tiba tetapi sesungguhnya mempunyai asal-usul historis berabad-abad lampau dengan dimulainya penjajahan oleh Spanyol.

                        Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan dan berdiri menjadi negara-negara baru. Tetapi berakhirnya kolonialisme politik tidak serta merta diikuti oleh hadirnya kebebasan yang sejati dan kemerdekaan yang integral. Kolonialisme politik diganti oleh kolonialisme ekonomi. Kekuatan ekonomi Barat melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin, sambil bekerja sama dengan elite kekuasaan dalam negeri dengan dukung militer. Puncak eksploitasi ini terjadi dalam dasawarsa 1950-an, ketika Amerika Latin mengadopsi model ekonomi Barat, yakni kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti yang dijanjikan, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan yang masif dalam arti bahwa hanya sebagian orang yang menikmati kekayaan, sedangkan mayoritas masyarakat mengalami kemiskinan yang ekstrim.[3]

            Michael Amaladoss dalam bukunya teologi pembebasan Asia mengatakan bahwa “kemiskinan memang suatu kategori ekonomi. Orang-orang dibuat miskin oleh sistem-sistem ekonomi. Beberapa orang menguasai sarana-sarana produksi dan menggunakannya untuk memperbesar keuntungan mereka sendiri, dengan membuat orang-orang lain menjadi miskin dalam proses itu”.[4]

                        Realitas kemiskinan masif di Amerika Latin tidak hanya berdimensi struktural: sistem politik yang represif, sistem ekonomi yang eksploitatif ataupun sistem kebudayaan yang dominatif, tetapi juga menyangkut dimensi personal. Wajah kemiskinan yang tragis tersebut tampak secara konkret dalam diri orang-orang miskin, yakni manusia-manusia yang hidup tanpa kelayakan manusiawi baik dalam aspek fisik seperti lapar, sakit, tiada tempat tinggal maupun dalam aspek psikis seperti hilangnya kebebasan pribadi untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Orang-orang miskin Amerika Latin adalah mereka yang hidup dalam sebuah dunia tanpa jaminan kehidupan manusiawi.

            Berhadapan dengan realitas kemiskinan tersebut, setidaknya sampai sekitar tahun 1950-an, Gereja Amerika Latin pada umumnya tidak banyak melakukan hal-hal yang sangat berarti kecuali kegiatan sosial karitatif seperti mendirikan dan mengelola rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga pendidikan. Gereja Amerika Latin hidup dalam dunia getto-nya sendiri. Gereja Amerika Latin malah menjaga otonomisasi dirinya, hanya sibuk menangani hal-hal religius, sedangkan urusan kemasyarakatan seperti kemiskinan adalah masalah negara (dunia). Sehingga terkesan adanya distingsi yang tegas antara Gereja yang mengurus hal-hal yang sakral dan negara yang mengatur hal-hal yang profan.

            Selain itu, potret institusional Gereja malah cenderung menjalin relasi yang erat dengan elite kaya dan berkuasa dan menjalin jarak terhadap kelompok besar umat yang miskin. Sementara itu, kelompok elite tersebut menggunakan Gereja untuk menjaga dan membela kepentingan (interese) mereka. Karena itu Gereja Amerika Latin menjadi Gereja “kaum kaya” yang mempertahankan kemapanan.

            Dalam suasana seperti ini, Gereja Amerika Latin mengalami krisis besar. Eksistensi Gereja dipertanyakan kurang lebih oleh tiga kelompok besar. Pertama, oleh banyak umat Kristiani yang dalam pengalaman hidup hariannya merasakan jarak besar yang memisahkan Gereja dari Injil dan keterasingan Gereja dari dunia nyata Amerika Latin. Kedua, oleh kelompok orang yang dalam perjuangannya menemukan Gereja sebagai kekuatan penghalang untuk membentuk masyarakat yang lebih adil. Ketiga, oleh elite kaya dan berkuasa yang merasa tidak senang dengan inisiatif dan gerakan perjuangan yang dilakukan oleh beberapa kelompok dinamis dalam gereja.

            Potret kemiskinan struktural dan politik represif yang terjadi di Amerika Latin inilah kemudian memunculkan seorang tokoh Gustavo Gutierrez. Bagi Gustavo Gutierrez teologi lahir dan berkembang dalam arus praksis perjuangan pelbagai kelompok untuk mewujudkan kehadiran gerejani baru yang cocok dengan warta Alkitabiah sekaligus kontekstual dalam kenyataan konkret Amerika Latin. Teologi menurut Gutierrez adalah refleksi kritis dan praksis historis dalam terang sabda Allah. Teologi adalah kegiatan kedua yang mengikuti kegiatan pertama, yaitu keterlibatan di tengah sejarah. Dalam konteks Amerika Latin, keterlibatan tersebut menyata dalam perjuangan mewujudkan kehadiran Kerajaan Allah dalam sejarah kemiskinan dan penindasan. Dengan demikian fungsi teologi bukanlah memproduksi kegiatan pastoral, tetapi merefleksikan secara kritis kehadiran Roh Allah dalam aktivitas pastoral komunitas kristiani. Medan berteologi yang istimewa (locus theologicus) dalam memahami iman adalah kehidupan, pewartaan, dan komitmen historis Gereja. Jadi yang menjadi konteks teologi Gustavo Gutierrez adalah keterlibatan konkret mewujudkan kehadiran gereja dalam terang Injil dan yang berakar secar konkret dalam realitas kemiskinan Amerika Latin.

                  Gambaran keadaan di Amerika Latin yang diketengahkan di atas jika ditelisik secara arif dan bijaksana, maka tentunya berimplikasi denganPapuadan Papua Barat dalam konteks makro tetapi juga khususnya Mbaham-Matta (Kabupaten Fakfak) dalam konteks mikro. Keidentikan konteks tersebut, tercermin di mana Papua dan Papua Barat yang secara ekonomi menjadi kawasan rebutan investor dari berbagai Negara-negara maju untuk melakukan penanaman modal mereka. Sejak tahun 1976 Operasi pertambangan Freeport-McMoran hingga saat ini, tentunya hal ini menyiratkan bahwa Papua telah masuk dalam cengkraman kapitalisme ekstraktif yang memberikan tendensi prioritasnya kepada keamanan aliran energi, material, dan ivestasi (finance capital) ketimbang keselamatan alam dan mansuia local. Tata ruang di Papua kini telah dipenuhi dengan konsesi-konsesi pertambangan dan migas yang dikenal memiliki daya rusak secara permanen terhadap lingkungan.[5]

                        Papua juga menjadi incaran industri perkebunan skala besar, industry kehutanan (Loging) juga marak merambah segenap penjuru kawasan hutan di Papua. Data Dinas Kehutanan untuk kegiatan pertambangan di Papua yang telah diizinkan 42 unit dengan total 96.563 Ha. Kementrian ESDM mengaku tidak memiliki data dari Izin Usaha Pertambangan (IUP) data yang dikeluarkan pemerintah daerah saat ini ada 60 izin (Papua 26 izin dan Papua Barat 34 izin) meliputi luas sekitar 961.372,39 Hektar. Itu belum termasuk izin baru dari Kabupaten, konsesi kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Petambangan Batu Bara (PKB2B) dan Wilayah Kerja Migas.[6]

                        Helwelderi dalam tesisnya pula menjelaskan bahwa proses investasi di Papua lebih banyak didominasi oleh penggalian pengelolaan sumber daya alam seperti pertambangan (emas, tembaga, minyak dan gas) penebangan dan pengusahaan hutan serta pengusahaan hasil-hasil laut. Mengingat wilayah Papua banyak memiliki kekayaan kandungan mineral dan laut serta hasil hutan yang masih melimpah sehingga menyebabkan banyak perusahaan nasional dan internasional yang berlomba-lomba berinvestasi di Papua.[7]

                        Dengan berdalih memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional (makro), sehingga investasi-eksplorasipun diizinkan. Namun, kebijakan ekonomi terpusat telah mengakibatkan hanya sebagian kecil keuntungan ekonomi yang kembali ke Papua. Meskipun di Papua terdapat sumber daya alam yang menghasilkan keuntungan besar bagi Indonesia namun, Papua hanya mengungguli Nusa Tenggara Barat dalam hal tingkat kemiskinan. Karena menurut laporan United Nation Development Programme (UNDP) pada tahun 2002 Papua adalah Provinsi termiskin kedua setelah Nusa Tenggara Barat.[8] Kasus kelaparan dan kematian penduduk Yahukimo yang muncul ke permukaan bulan Desember 2005 merupakan fenomena puncak gunung es dari realitas sebenarnya.[9]

                        Realitas ini seperti diungkapkan oleh A A. Yewangoe dalam Teoligia Crucis di Asia.Yewangoe mengutip pandangan Fernando Nimelka bahwa 80 % pekerja yang ada di Asia (yang didalamnya termasuk Mbaham-Matta) ternyata sangat miskin hidupnya. Mereka dihisap oleh para “Kapitalis” yang melalui kuasa sangat mengendalikan pasar dunia. Nimelka juga mengkisahkan bagaimana dua pertiga penduduk dunia hidup dalam sektor pertanian. Sebagai petani mereka mempunyai hak pemilikan. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Mereka tidak lagi mempunyai tanah, karena mereka dipaksa menjual tanah mereka kepada “kaum kapitalis”. Untuk mempertahankan hidup mereka, mereka dipaksa bekerja dengan pemilik yang baru. Mereka mendapat upah dari pemilik baru ini, tapi tidak cukup untuk hidup. Lebih dari itu, dengan melakukan pekerjaan seperti itu, mereka tidak mempunyai harapan akan masa depan yang lebih baik.[10]

                        Situasi yang dirasakan rakyat Papua dan Papua Barat (Mbaham) ini, menyebabkan timbulnya keinginan untuk membebaskan diri dari ketidak-adilan yang dialami.

                     Konsep Teologi Pembebasan Menurut GustavoGutierrez Dan Implikasinya Bagi Masyarakat Mbaham-Matta

 




[1]. Marthin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, Kanisius, 2002, h. 26
[2]Amerindian adalah penduduk asli (Indian) Amerika Latin. Sebelum kedatangan bangsa Spanyol, mereka telah memiliki peradaban yang tinggi seperti Aztec-Maya di Meksiko dan Amerika Tengah dan kebudayaan Inca di Peru.
[3]Chen,-----Ibid. h. 17-18
[4] Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, Pustaka Pelajar 2001, H. 285
[5] Lih. Laporan Khusus Napas Satu Papua 2003, Hal. 07
[6] Napas satu Papua,-----Ibid
[7] R. Helweldery, Partisipasi Politik GPI Papua, tesis UKSW Salatiga. Tidak terbit
[8]UNDP, Human Development Report 2002: Deepening Democracy In a Fragmented World (24 Juli 2002). Gambaran ini tentu terlepas dari pengucuran dana OTSUS.
[9]Kompas, Sabtu, 11 Maret 2005, 53, menurut data tahun 2004: angka kematian bayi di Papua cukup tinggi, yaitu 100 kematian per seribu kelahiran bayi; angka kematian ibu 60-700 orang per 100.000 kelahiran
[10] Dr. AA Yewangoe, Teologia Crucis di Asia, BPK. Gunung Mulia, Jakarta 1996. H. 10.

Komentar

  1. Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours

    Over 160000 men and women are losing weight with a easy and SECRET "water hack" to lose 1-2 lbs each and every night in their sleep.

    It is effective and it works all the time.

    Here are the easy steps for this hack:

    1) Go grab a glass and fill it up with water half the way

    2) And then do this strange hack

    so you'll become 1-2 lbs skinnier in the morning!

    BalasHapus

Posting Komentar