“SEKOLAH ADAT” ALLAH SENDIRI KEPALA SEKOLAH DAN GURU DALAM SEKOLAH ADAT. (Penulis Pdt. Victor Th Furima. S,Th)

Sekolah yang konsep belajar mengajarnya Abstrak, terjadi pada setiap kesempatan bernapas dalam aktivitas social yang lebih diwujudkan dalam konsep audio visual (melihat dan mendengar).

Pendahuluan

Bagaimana kita mengetahui proses pendidikan adat, yang tidak diatur dalam konsep kurikulum, namun dimaknai sebagai suatu bagian dari desain pendidikan kultur yang terjadi berabad-abad tahun lalu. sejak manusia dibentuk dalam sebuah peradaban. Allah sendiri adalah Kepalah sekolah sekaligus Guru dalam sekolah Adat. Dimaknai ketika ajaran yang pertama dalam konsep audio visual Allah Mengajarkan kepada adam (manusia) dengar dan lihatlah. Kej 1 : 27-30. (1:27 Maka Allah menciptakan  manusia  itu menurut gambar-Nya,  menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. 1:28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:"Beranakcuculah dan bertambah   banyak ; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas   ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi. " 1:29 Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu. 1:30 Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya." Dan jadilah demikian.)  Bukan hanya proses belajar mengajar dalam situasi audio visual saja yang di nyatakan ALLAH kepada manusia tetapi Allah juga memberikan ujian setelah semua materi di kemukakan kepada manusia yakni kej 2:16-17. (2:16 Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, 2:17 tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.) Oleh Sebab itu pendidikan adalah satu bagian yang dirancang penghuni sorga guna memberikan pengetahuan yang signifikan kapada manusia agar mereka sadar tentang keberadaan mereka sebagai makluk ciptaan Allah, “Intinya jika Allah tidak ingin kita Berpengetahuan mengapa IA memberikan Kita otak”.

Mengenai Pendidikan Nasional

Sepintas tentang pendidikan nasional kita harus mengacu pada Ki Hajar Dewantara. Lantas bagaimana sebenarnya konsep pendidikan yang dibayangkan oleh Ki Hajar Dewantara dan bandingannya dengan konsep pendidikan saat ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita kembali ke masa beliau mendirikan sekolah yang dinamakan Taman Siswa. Taman Siswa didirikan pada 3 Juli 1922 di Jogjakarta. Sekolah yang didirikan untuk anak-anak rakyat jelata yang pada masa itu tidak bisa mengakses pendidikan kolonial Belanda yang sangat diskriminatif.

Sistem pendidikannya disebut Among. Yaitu sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara yang berisi tiga prinsip dasar: tut wuri handayani, in madya mangun karsa, ing ngarso sung tuladha. Secara umum, Among artinya adalah kekeluargaan. Setiap guru atau pendidik akan secara intens mendampingi anak didik seperti di dalam keluarga di mana orangtua mendampingi anaknya. Dalam sistem Among ini juga praktik pendidikan didasarkan kepada apa yang menjadi minat atau ketertarikan anak didiknya. Hal ini menjadikan setiap anak yang memiliki keunikan dan keistimewaan sendiri itu bisa fokus untuk berkembang dan berkarya sesuai dengan minatnya tanpa harus dibebani dengan hal lain yang menurut anak didik kurang menarik baginya. Bertolak belakang dengan hal di atas, hari ini kita justru tidak menggunakan sistem ini dalam konsep pendidikan nasional. Kita justru memakai sistem pendidikan yang sama sekali berbeda, sistem pendidikan yang penuh dengan standar yang diberlakukan secara umum kepada setiap siswa yang pada akhirnya membunuh ke-unik-annya. Sistem pendidikan yang menciptakan kelas unggulan dan non unggulan. Sistem pendidikan yang berhasil membuat anak yang gagal dalam ulangan percaya bahwa dirinya bodoh. Sistem pendidikan yang membuat anak bahkan orangtua percaya bahwa tidak ada masa depan di kampung. Sistem yang melahirkan anak didik meninggalkan kampungnya untuk pergi mengadu nasib di kota. Benarkah tidak ada masa depan di kampong/desa?

System pendidikan Adat di Papua

Pola hidup orang Papua di masa Lalu berlandasakan paham “KOSMOLOGIS” dan “KOMUNALISME”. Artinya pusat hidup orang Papua di masa lalu adalah berpusat pada alam dan hidup dalam kelompok-kelompok kecil (marga/klen, dusun). Seluruh orientasi hidupnya  bersumber pada  alam. Alam  menjadi sumber utama hidup mereka. Pola relasinya adalah Resiprositi (Reciprocity) yaitu relasi yang saling menguntungkan dan saling ketergantungan. Dalam pemahaman orang Papua zaman lalu bahwa ada tiga alam yaitu alam kosmos, alam manusia nyata (empiris) dan alam tidak nayata atau alam roh-roh (alam non empiris). Diyakini juga bahwa asal-usul moyang dari suatu marga adalah dari alam (binatang, pohon, air, batu, dll). Paham ini oleh para antrlaopolog menyebutnya paham “TOTEMISME”.

Sistem pendidikan adat yang disebut inisiasi, baik untuk laki-laki maupun  perempuan. Hal-hal yang diajarkan selama pendidikan adat ini adalah nilai-nilai moral-etika, keterampilan, dogma adat, tabu-tabu adat, religiositas dan pendidikan karakter atau pembentukan mental.  Menurut beberapa ahli yang meneliti tentang proses pendidikan adat atau pendidikan tradisional ini, menyimpulkan bahwa sistem pendidikan inisiasi  memiliki beberapa karakteristik dan dimensi yang khas yang diterapkan  kepada para murid atau subjek inisiasi. Kata inisiasi dari kata Latin, “initium”, artinya transisi, antara (between) belum jadi menuju jadi atau belum dewasa menjadi dewasa,  peralihan dari belum tahu menjadi tahu,  dan sebagainya. Oleh karena, sistem pendidikan adat ini adalah sistem transisi yang harus ditempuh melalui proses yang ketat.

Arnold van Gennep (1873-1857) , menyebut sistem pendidikan adat  ini  dengan nama, “sistem pedidikan peralihan dan pengasingan diri” (the rates of passage and self liminal).   Karena itu, ia mengedepankan beberapa proses atau tahapan yang ditempuh melalui sistem pendidikan adat ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah tahap pemisahan (pre-liminal), tahap transisi atau pengasiangan (liminal), dan tahap integrasi atau penyatuan (post  liminal). Bagi A. van Gennep, ketiga tahapan ini adalah suatu proses sistem pendidikan yang mengolah, mengembleng dan membentuk kepribadian para murid atau para subjek inisiasi. Ketiga tahapan ini dapat ditempuh melalui suatu proses waktu yang memadai. Dan juga ketiga tahapan dalam sistem inisiasi adat ini mencakup tiga aspek atau tiga hal utama yang menjadi fokus perhatian, yaitu aspek pelepasan atau pemisahan dari keterikatan biologis maternal-paternal menuju pada tahap pembentukan personal (kesendirian atau keterasingan), kemudian menuju kepada pembentukan kedewasaan yang utuh, dan siap diutus atau turun ke tengah-tengah masyarakat (out put). Ada lima (5) dimensi utama yang menjadi perhatian melalui program pendidikan adat ini. (1) Pendidikan dan pelatihan fisik (bodily methode). (2)  Pendidikan dan pelatihan mental (psychology methode). (3)  Pendidikan dan pelatihan rohani (religious – spiritual methode). (4) Pendidikan dan pelatihan keterampilan bekerja dan memimpin (creativities methode). (5) Pendidikan dan keterampilan menghafal dan mamahami ajaran atau dogma adat (intellectual methode).  Kelima materi ini merupakan satu paket yang diterapkan di dalam sistem pendidikan inisiasi adat ini bagi pria dan wanita. Kelima paket materi ini adalah materi esensial atau hakiki yang dapat MEMBENTUK KARAKTER dan KEPRIBADIAN para murid. Dengan demikian hasil akhir (out put) yang dicapai melalui sistem pendidikan adat ini adalah membentuk atau melahirkan para pemimpin masyarakat yang sungguh-ungguh bemutu atau berkualitas. Melalui ketiga tahapan proses tersebut di atas dan melalui lima (5) pokok sebagai materi pendidikan praksis (pelatihan) dan teoristis (intelektual) sebagaimana di sebutkan di atas, seorang PRIA dan WANITA DIHARAPKAN MAMPU MENJADI PELAKU PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN BAGI MASYARAKATNYA.

Runtuhnya Pendidikan Adat

Jika demikian mengapa Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya sejak pendidikan nasional yang mengadopsi sistem pendidikan barat diterapkan, di kampung-kampung Masyarakat Adat telah terjadi perubahan yang secara signifikan. Perubahan ini mengubah pola tatanan Masyarakat Adat yang sudah terbangun sejak ratusan tahun lalu. Anak-anak yang sudah mendapatkan pendidikan “nasional” di sekolah-sekolah pemerintah atau swasta dan mendapatkan ijazah memilih untuk meninggalkan kampungnya. Mereka diajarkan bahwa yang disebut dengan kesejahteraan tidak berada di tengah komunitas, atau di dalam lingkup wilayah adatnya. Mereka diyakinkan bahwa kemajuan, perkembangan dan keterbukaan hanya akan mungkin jika memutuskan untuk pergi mengadu nasib ke kota-kota kabupaten sampai ke ibukota negara. Oleh sebab itu jika dikaitkan maka sistim pendidikan adat tidak jauh berbeda dengan Sistem pendidikan Among yang digunakan Ki Hajar Dewantara. Karena proses belajar mengajar di Taman Siswa memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan dalam komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Nusantara. Mereka sudah memiliki sistem pengetahuan yang komprehensif, berasal dari pengetahuan empiris leluhur atas alam tempat mereka tinggal yang terakumulasi selama ratusan bahkan ribuan tahun yang sebagian kecil terdokumentasi dalam bentuk tulisan dengan aksara-aksara nusantara di lontar-lontar, pustaha laklak atau kulit kayu, bambu, tulang binatang dan sebagian besar dalam lisan berupa tutur, kisah, legenda, syair, lagu. dan sebagainya. Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi muda dengan cara yang mirip dengan apa yang dipraktikkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni dengan mendidik anak fokus dengan bidang yang diminati anak dan bisa langsung dia praktikkan di alam atau dengan kata lain kontekstual. Dalam Masyarakat Adat, pada dasarnya telah ada pembagian-pembagian keahlian dalam komunitas mereka. Pembagian tersebut dalam istilah sekarang itu disebut profesi. Pembagian tugas ini lahir dari kebutuhan Masyarakat Adat itu sendiri dalam mempertahankan keberadaannya di alam tempat tinggal mereka. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Masyarakat Adat sangat mempertimbangkan keberlanjutan atau kelestarian alam. Masyarakat Adat tidak hanya memandang alam sebatas sumberdaya. Namun lebih jauh lagi, alam dan wilayah adatnya merupakan identitas mereka sebagai Masyarakat Adat.

Di sebagian besar komunitas adat di Nusantara kita dapat menemukan pembagian tugas ini. Ada orang yang khusus menangani ilmu perbintangan, yang menangani semua berhubungan dengan penentuan musim tanam dalam pertanian, terkait penentuan hari yang baik dan buruk dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk orang khusus menangani masalah obat-obatan. Belum termasuk ada orang yang khusus menangani masalah bangunan, seseorang yang khusus menangani masalah sastra, mereka yang akan menangani masalah irigasi, bertanggungjawab untuk menjaga keamanan kampung dan wilayah adat, sosok yang akan mengurus masalah ritual, dan mereka yang mengurus masalah hukum, atau masalah pemerintahan. Profesi adat ini mempunyai namanya sendiri-sendiri dalam bahasa ibu komunitas adat setempat.

Runtuhnya pendidikan Formal

Dianalisis secara genderal bahwa runtuhnya pendidikan / sekolah formal dikarnakan terlalu memfokuskan mengejar nilai tanpa meninjau ketrampilan, karena subtansi dari kehidupan ialah menghasilkan buah bukan hanya bertumbuh dan besar, semua sekolah berlomba-lomba memberikan predikat tertinggi kepada siswa yang komputen, padahal dalam sejarah dunia bahwa nilai adalah factor dimana terjadi persaingan terjadi kesalahan, terjadi perlawanan terjadi penyelewengan. Ada beberapa alasan mengapa persoalan Nilai menjadi sosok utama tidak berhasilnya dunia pendidikan sekarang meloloskan outputnya menembus dunia kerja. Walau mereka-mereka yang memiliki ketrampilan dalam konteks pendidikan adat telah bertarung sekuat tenaga dalam hirukpikiknya dunia pendidikan nasional. sebab standar yang di gunakan melampaui batasan manusia normal asia. Dan Melanesia. Jika anak-anak kampung melanesia lambat berkompetisi soal membaca dan berhitung, tidak demikian jika mereka dikaitkan dengan ketrampilan berburu, memanjat dan mempertahankan kehidupan dialam bebas pastilah mereka yang terdepan. Sekarang bagaimana  caranya kemampuan itu di arahkan untuk menaklukan situasi membaca dan berhitung yang diajarkan oleh sekolah-sekolah formal. Yang kelihatan memiliki beberapa alasan kongkrit namun tidak menjadi satu-satunya solusi  manusia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kehidupan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Alasan yang Pertama, ijasah yang didapatkan dari sekolah-sekolah baik pemerintah dan swasta. Selembar surat ini dianggap sah karena menjadi legitimasi atas stempel terhadap sebuah keahlian yang tidak atau belum bisa dipraktekkan di kampungnya. Kedua, si anak yang sudah mendapatkan pendidikan dari sekolah-sekolah pemerintah atau swasta tersebut telah terbius akan segala sesuatu yang disebut “kebaruan” yang diyakini hanya berada di kota. Segala macam “yang baru” ini membuat mereka lalu berkeinginan meninggalkan kampungnya. Ketiga, adanya stigma negatif bahwa Masyarakat Adat adalah masyarakat yang terbelakang. Terlebih khusus Masyarakat Adat yang masih menjalankan dan memegang teguh kepercayaan leluhur mereka. Dengan hijrahnya para anak muda dari komunitas adat ini tentu saja membuat kampung menjadi sepi. Yang tersisa hanya orangtua dan anak kecil. Pemandangan ini bisa dengan mudah kita dapatkan jika kita pergi mengunjungi komunitas-komunitas Masyarakat Adat. Kondisi ini secara langsung mempengaruhi tatanan Masyarakat Adat yang sebelumnya sudah mempunyai sistem pengelolaannya tersendiri. Absennya generasi muda ini berakibat tidak berlanjutnya transfer pengetahuan dari orangtua kepada generasi muda yang lambat laun mengakibatkan kekosongan profesi adat yang ditinggal para orang tua yang sudah berpulang kepada sang pencipta. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kehadiran modal atau perusahaan-perusahaan ekstraktif yang merusak wilayah adat. Berubahnya fungsi hutan dalam wilayah adat, sebagai contoh merupakan bukti yang berbanding lurus dengan hilangnya pengetahuan dan kebudayaan Masyarakat Adat itu sendiri. 

Penutup (saran, Pendapat, Masukan)

Kompleksitas dari kondisi inilah yang kemudian disadari betul oleh para pemuda-pemudi adat Membentuk KODIM (Komunitas Diskusi Malam) Kab. Kaimana. Yang melahirkan sebuah keputusan penting untuk merealisasikan satu ide yang mereka namai Gerakan Menyelamatkan generasi sisah Papua. Sedang menunggu upaya kerja sama dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), dan salah satu organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). (AMAN, BPAN, Lifemosaic dan The Shamdana Institute) 

Tema Diskusi Pertama (KODIM)

”Saya dibuat menderita dunia karena dia tersesat dalam fitnah,namun hubungan kita menjadi solusi damainya relasi sosial”. Pemateri Pdt.V.Th.Furima S,Th, Moderator Sdr. Sopater Werfete

(masih Dalam Penulisan).



Komentar