Ketika seorang pelayan Tuhan berada di wilayah politik, penting untuk mempertimbangkan beberapa hal:
1. Netralitas: Seorang pelayan Tuhan harus tetap netral dalam hal-hal politik agar dapat melayani semua orang tanpa bias. Mereka tidak boleh memihak pada satu partai atau kelompok politik tertentu, tetapi tetap fokus pada misi rohani mereka.
2. Etika: Seorang pelayan Tuhan harus mempraktikkan nilai-nilai etika yang dianut dalam politik. Mereka harus menghindari praktik korupsi, fitnah, atau propaganda yang merugikan orang lain. Sebaliknya, mereka harus memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan masyarakat.
3. Kode Moral: Seorang pelayan Tuhan tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip moral dan ajaran-ajaran agama mereka, bahkan saat berada di wilayah politik. Mereka harus berkomitmen untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai agama dan membawa pengaruh positif dalam dunia politik.
Bagaimana seorang pendeta seharusnya berada di ruang demokrasi dan menciptakan ruang adalah sebagai berikut:
1. Mempromosikan Kedamaian: Seorang pendeta dapat berkontribusi dalam ruang demokrasi dengan mempromosikan perdamaian, dialog, dan persatuan di antara berbagai kelompok politik. Mereka dapat menjadi mediator yang membantu membangun jembatan antara perbedaan dan merangkul persatuan.
2. Penyuluhan dan Pendidikan: Pendeta memiliki peran penting dalam memberikan penyuluhan dan pendidikan politik kepada jemaat mereka. Mereka dapat memberikan pemahaman yang seimbang mengenai isu-isu politik dan mendorong jemaat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.
3. Mendorong Kepemimpinan yang Etis: Seorang pendeta dapat mempengaruhi ruang demokrasi dengan mendorong praktik kepemimpinan yang etis dan bertanggung jawab. Mereka dapat mengajarkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan pelayanan dalam kepemimpinan politik.
Dengan berada di wilayah politik dan menciptakan ruang di ruang demokrasi, seorang pelayan Tuhan atau pendeta dapat memberikan kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang lebih adil, damai, dan bermartabat.
Sebagai hamba Tuhan, penting untuk menjaga kesucian gereja sebagai tempat ibadah dan pelayanan rohani. Dalam konteks ini, seorang hamba Tuhan sebaiknya tidak mempromosikan atau mengkampanyekan seseorang secara langsung di wilayah gereja.
Gereja bukan tempat untuk konsolidasi basis massa politik atau untuk mempengaruhi secara langsung preferensi politik jemaat. Gereja harus tetap menjadi tempat yang netral, inklusif, dan bebas dari tekanan politik. Kehadiran politik di gereja dapat memecah belah persatuan dan mengganggu fokus pada misi rohani utama.
Namun, itu tidak berarti bahwa hamba Tuhan harus sepenuhnya menghindari isu-isu sosial atau politik saat berkhotbah atau memberikan pengajaran. Mereka dapat menyampaikan prinsip-prinsip moral yang diperoleh dari iman yang relevan dengan isu-isu dalam masyarakat.
Selain itu, hamba Tuhan juga dapat mendukung dan mendorong jemaat untuk terlibat dalam proses demokrasi dengan menjadi pemilih yang bertanggung jawab, mendidik jemaat mengenai nilai-nilai moral dalam politik, dan mendorong partisipasi aktif dalam isu-isu sosial yang sesuai dengan prinsip-prinsip iman.
Tujuan utama gereja adalah untuk menyatukan umat, menyediakan pelajaran rohani, dan membimbing orang dalam pertumbuhan rohani mereka. Oleh karena itu, perlu menjaga keseimbangan antara kepemimpinan rohani dan isu-isu politik di gereja, dengan tetap memberikan ruang bagi jemaat untuk membentuk pandangan politik mereka sendiri.
Alkitab Tidak Pernah Mengistrusikan Tentang Mengkampanyekan atau mempromosikan seseorang untuk Menjadi Pemimpin Pemerintah.
tidak ada ayat spesifik di dalam Alkitab yang secara langsung membahas tentang seorang imam, nabi, hakim, atau rasul mempromosikan atau mengkampanyekan seseorang untuk menjadi pemimpin atau pemerintah. Alkitab memberikan prinsip-prinsip dan pedoman moral yang dapat membimbing para pemimpin rohani dalam keterlibatan mereka dalam politik dan pemerintahan.
Dalam Perjanjian Lama, kita menemukan contoh-contoh seperti nabi-nabi seperti Samuel yang memilih dan mengurapi raja, tetapi tindakan ini didasarkan pada petunjuk langsung dari Allah dan dalam konteks konkret saat itu.
Dalam Perjanjian Baru, perhatian utama diberikan pada pelayanan rohani, pengajaran injil, dan pembentukan karakter Kristen. Meskipun tidak ada instruksi langsung tentang keterlibatan politik, Alkitab memberikan prinsip-prinsip seperti mencintai sesama, melakukan keadilan, dan memberikan pemerintah yang dikenal pada tempatnya.
Setiap pelayan Tuhan harus mencari hikmat dan mendengarkan tuntunan Roh Kudus dalam mengambil keputusan politik dan partisipasi mereka dalam ruang demokrasi. Penting untuk melibatkan diri secara bertanggung jawab dan menjaga kesaksian Kristiani yang jelas dalam setiap tindakan dan perkataan kita.
Penting juga untuk diingat bahwa iman Kristen lebih dari sekadar politik atau posisi kepemimpinan. Prioritas utama kita adalah mengikuti Kristus, membawa Injil kepada dunia, dan memuliakan Allah dalam segala hal yang kita lakukan.
Dalam Roma 13 ayat 1-7, Ibrani 13 ayat 17, dan 1 Timotius 2 ayat 1-2, Alkitab memberikan instruksi tentang hubungan kita dengan pemerintah dan pemimpin.
Roma 13 ayat 1-7 mengajarkan bahwa pemerintah adalah institusi yang didirikan oleh Allah dan pemimpin adalah wakil-Nya. Kitab ini mengajarkan agar kita patuh terhadap pemerintah yang sah dan memberikan wewenang kepada mereka. Ini tidak secara langsung berkaitan dengan bagaimana seorang hamba Tuhan mempromosikan atau mengkampanyekan seseorang di wilayah gereja.
Ibrani 13 ayat 17 menyebutkan agar kita tunduk dan taat kepada pemimpin rohani yang Allah tempatkan di gereja. Ayat ini mengarah pada ketaatan dan penghormatan terhadap otoritas gereja, bukan pada kampanye politik di dalam gereja.
1 Timotius 2 ayat 1-2 mendorong kita untuk berdoa bagi raja dan mereka yang memegang jabatan tinggi, agar kita dapat hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan. Ini adalah panggilan untuk berdoa bagi pemimpin dalam konteks keselamatan dan kesejahteraan umum, bukan untuk mempromosikan atau mengkampanyekan seseorang di gereja.
Dalam keseluruhan, Alkitab mengajarkan agar kita memberikan hormat dan patuh kepada pemerintah yang sah, serta berdoa bagi pemimpin kita, tetapi tidak secara langsung merujuk pada kampanye politik di wilayah gereja. Setiap pelayan Tuhan harus mencari hikmat Tuhan, menerapkan prinsip-prinsip Alkitab dengan bijaksana, dan menjaga kesucian gereja sebagai tempat ibadah dan pelayanan rohani.
Gereja tidak bertanggung jawab untuk mempromosikan seseorang dalam konteks jabatan politik. Tuhan memiliki hak untuk memilih siapa yang layak atau tidak dalam peran-peran kepemimpinan.
Sebagai orang percaya, tugas kita adalah berbuah yang baik dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab. Seperti yang disebutkan dalam Matius 7 ayat 15-20, kita diajak untuk berhati-hati terhadap nabi palsu dan mengenali mereka melalui buah-buah yang mereka hasilkan. Dalam konteks ini, berbuah yang baik mencakup karakter yang saleh, perbuatan yang benar, dan pengaruh positif dalam kehidupan orang lain.
Tugas gereja adalah mengajar dan mempersiapkan orang-orang percaya untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab, agar mereka dapat menjadi teladan yang baik dan berbuah yang baik dalam segala aspek kehidupan mereka. Namun, dalam konteks politik, individu memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk terlibat dan membuat keputusan yang bijaksana berdasarkan keyakinan mereka sendiri.
Akhirnya, penting untuk mencari bimbingan Tuhan dan mencari hikmat-Nya dalam setiap situasi, termasuk dalam memilih pemimpin dan berpartisipasi dalam proses politik.
Peran Gereja dalam 2 Dimensi
Gereja memiliki peran dan keberadaan dalam dua dimensi yang berbeda. Pertama, dimensi kirohani atau dimensi iman terkait dengan pelayanan rohani, pemahaman ajaran agama, dan pertumbuhan spiritual individu dan jemaat. Di dimensi ini, gereja berfokus pada ibadah, pengajaran Alkitab, doa, pembinaan iman, dan pengembangan hubungan dengan Tuhan.
Di sisi lain, gereja juga berada dalam dimensi organisasi atau dunia. Dimensi ini melibatkan segala aspek yang terkait dengan administrasi gereja, pengelolaan sumber daya, kegiatan sosial, dan relasi dengan masyarakat luas. Gereja sebagai organisasi memiliki tanggung jawab untuk menjalankan kegiatan operasional, mengelola keuangan, merencanakan acara, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun gereja berada dalam dimensi organisasi, tujuannya tetaplah melayani tujuan rohani dan kehidupan iman. Gereja harus menjaga keseimbangan antara kedua dimensi ini tanpa mengabaikan tugas dan panggilan rohani yang menjadi inti dari identitasnya.
Jadi, dalam konteks tanggung jawab gereja, penting bagi gereja untuk tidak melupakan dimensi kirohani atau dimensi iman yang menjadi esensi dari eksistensinya. Gereja harus tetap memprioritaskan pelayanan rohani, pertumbuhan iman, dan membimbing jemaat agar hidup sesuai dengan prinsip-prinsip iman yang diajarkan dalam Alkitab.
Prinsip Dan Kesimpulan
Umat gereja yang mencalonkan diri dalam jabatan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, penting bagi mereka untuk memahami tanggung jawab mereka sebagai orang percaya dalam menjalankan tugas-tugas publik tersebut.
Pertama, sebagai umat gereja, mereka harus tetap memegang teguh nilai-nilai iman dan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Alkitab. Mereka harus berkomitmen untuk hidup sesuai dengan ajaran agama dan mempraktikkan nilai-nilai keimanan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam jabatan publik yang mereka emban.
Kedua, mereka juga harus menjalankan tugas-tugasnya dengan integritas dan tanggung jawab yang tinggi. Itu berarti bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang adil, mengutamakan kepentingan umum, dan berupaya untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Selain itu, penting bagi mereka untuk menghormati pemisahan antara agama dan negara. Meskipun mereka adalah umat gereja, mereka harus memastikan bahwa keputusan dan tindakan mereka didasarkan pada pertimbangan yang obyektif dan kepatuhan terhadap undang-undang dan konstitusi negara.
Dalam hal memberikan bantuan baik dari sisi pribadi maupun tanggung jawab di tempat kerja, umat gereja yang mencalonkan diri harus tetap menjaga keseimbangan antara peran publik dan kehidupan pribadi mereka. Mereka harus memastikan bahwa setiap tindakan yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan etika dan norma yang berlaku serta tidak menyebabkan konflik kepentingan.
Bagi umat gereja yang mencalonkan diri dalam jabatan publik, penting bagi mereka untuk memiliki pengertian yang jelas mengenai tanggung jawab dan komitmen mereka sebagai orang percaya. Mereka harus mengintegrasikan iman mereka ke dalam tugas-tugas publik yang mereka emban dengan integritas, kebijaksanaan, dan pelayanan yang baik kepada seluruh masyarakat.
Memang ada beberapa calon legislatif yang mendasarkan basis massa mereka di gereja atau komunitas keagamaan. Namun, penting untuk dicatat bahwa gereja tidak seharusnya digunakan sebagai sarana politik yang semata-mata untuk kepentingan pribadi atau partai politik tertentu.
Sebaiknya, gereja harus tetap menjadi tempat yang netral dan inklusif bagi seluruh umatnya. Gereja harus mempromosikan persatuan, toleransi, dan keadilan sosial di antara umatnya, tanpa memihak secara eksplisit pada calon tertentu atau partai politik tertentu.
Jika ada calon legislatif yang menjadikan gereja sebagai tempat konsolidasi basis massa mereka, penting bagi gereja dan para pemimpinnya untuk memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan kekuasaan atau manipulasi yang dilakukan. Gereja harus mempertahankan kemerdekaan dan otonomi mereka dalam hal politik, sambil tetap mengingatkan umatnya untuk menghormati pemisahan antara agama dan negara.
Para caleg yang ingin mendapatkan dukungan dari gereja sebaiknya membangun hubungan yang transparan, jujur, dan menghormati keputusan individu umat gereja. Mereka harus mengedepankan program-program dan nilai-nilai yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, bukan hanya berorientasi pada keuntungan politik semata.
Kesimpulannya, meskipun ada calon legislatif yang berharap mendapatkan dukungan dari gereja sebagai tempat konsolidasi basis massa mereka, penting bagi gereja untuk tetap memegang prinsip ketidakberpihakan dan netralitas politik. Gereja harus memprioritaskan persatuan dan keadilan sosial, sambil mengingatkan umatnya bahwa pilihan politik adalah keputusan pribadi yang harus didasarkan pada nilai-nilai keagamaan dan kepentingan umum.
Penulis : Pdt. Victor Furima
Komentar
Posting Komentar